animasi blog

Selasa, 19 November 2013

Ilusi Hujan

Mentari sudah menyembunyikan sinarnya, dipadu dengan sedikit angin dingin dan bus yang berlalu-lalang. Tampak seorang gadis berdiri dengan raut wajah yang putus asa. Sebentar-sebentar ia duduk lagi. Sudah hampir 3 jam dia menunggu di halte Sukojoyo namun tidak satupun bus yang menuju ke arah jalan pulangku. Ia melirik jam tangan hijau yang melilit pergelangan tangannya, sudah pukul 5 dan langit semakin gelap saja. Ditambah perut yang sedari tadi minta diisi, lapar sekali. Mau jalan? Tidak mungkin. Jarak dari halte ini ke rumahnya sekitar 10 km, ia tak mau pingsan di tengah jalan. Angin semakin kencang disambut dengan turunnya hujan tanpa permulaan. Langsung turun dengan liarnya begitu saja. Semua orang berhamburan untuk meneduh di halte. Kesialan berikutnya adalah ia lupa membawa jaket sehingga ia hanya menghangatkan tubuh dengan mengusap-usap telapak tangannya. Hujan tak mau berhenti, ia semakin benci dengan keadaan ini. Seperti halnya ia membenci hujan, membenci halte Sukojoyo dan membenci kenyataan mengapa ia harus selalu berada di tempat ini setiap hari.

“Riska…” suara lembut mengagetkannya dari belakang. Muncul sosok laki-laki tinggi berambut coklat. Laki-laki itu memarkir sepeda jengkinya.

“Eh, iya Bima. Aku kira kamu lupa dengan janjimu,” Riska merubah posisi duduknya sedemikian rupa hingga menghadap Bima.

“Nggak mungkin lah aku lupa sama janjiku sendiri. Tadi kesini naik apa? Katanya kamu sakit, Ris?” Riska tersenyum. “Udah sembuh sejak beberapa detik yang lalu, Bim. Nggak enak ya nggak masuk sekolah, aku jadi kangen sama kamu, hehehe,”

“Kan udah ketemu. Iya sih, nggak enak kalau sehari aja nggak ketemu kamu, nggak ketawa bareng kamu, nggak ngelihat pipi tembem kamu,” Bima mencubit pipi Riska.

“Biiiimm, sakit tau! Aku kan udah bilang, anak sekolah itu nggak boleh nyemir rambut,” Riska mengusap-usap pipinya yang sakit. Raut wajah Bima berubah seketika itu, “Ini bukan semir. Nggak bisa bedain ya antara semir sama bukan? Tolol.”

            Yang terdengar hanya suara kikikan Riska. “Hihihi.. Yaudah maaf deh,” Riska menggenggam tangan sahabat kecilnya. “Kamu mau ngomong apa kok ngajak ketemuan disini?”

            Bima awalnya hanya bungkam sebelum ia membuka suara. Tangan besarnya membalas genggaman erat dari tangan sahabatnya, ia merapatkan tubuh karena angin berhembus kencang tanda akan turun hujan yang sangat deras, “Riska, kamu tau kan sahabatmu ini sayang sama kamu? Udah berapa tahun kita bareng? Mulai dulu kita suka ngejar ayam, sampai sekarang kita udah pakai seragam putih abu-abu. Coba hitung deh,” kepala Bima terus menunduk.

             Riska menghitung dengan jarinya. “14 tahun, Bim. Lama banget, ya. Nggak kerasa,” Bima tersenyum dan melanjutkan kata-katanya, “Nah. Kita udah terbiasa senang bareng, nangis bareng. Kalau ada apa-apa kamu juga ceritanya ke aku, aku pun sebaliknya. Aku inget banget waktu kamu kabur ke rumahku gara-gara dimarahin Bude Sami. Hehehe. Dan kita tahu sendirikan, sekarang kita udah dewasa. Aku nyaman sama kamu, kamu juga. Apa kamu nggak ada niatan anggap aku lebih dari…”

             “Eh, Bim, hujan! Bim, hujannya deras banget!” Riska memotong ucapan Bima yang belum sempat ia selesaikan. Bima merasa dongkol dalam hati. Bima membuka tas dan mengambil jaket abu-abunya. “Iya, hujan air doing kan belum hujan batu. Kamu selalu mudah panic. Yaudah ayo pulang! Nanti kamu tambah sakit dan dimarahin mama kamu. Nih kamu pakai jas hujanku. Aku pakai jaket aja,” Bima memakaikan jas hujan itu di tubuh sahabatnya yang mulai kambuh sakitnya dan memakai jaketnya. “Ayo, naik, Ris,” Riska segera menaiki boncengan sepeda jengki Bima. Bima mengayuh sepedanya dengan cepat menerobos hujan dan Riska berpegangan erat pada Bima. Riska tak sadar bahwa perasaan itu akhirnya tumbuh juga.

              “Turun, Ndut. Udah sampai nih,” Riska turun dari sepeda Bima. Ia terlihat pucat. Berdirinya tidak tegak. “Ris, perlu aku antar sampai ke dalam? Kamu pucat tuh. Badan kamu juga panas. Maaf ya, gara-gara aku kamu jadi sakit lagi,” Bima menempelkan punggung tangannya di kening Riska, “Udah nggak papa, Bim. Makasih udah mau ketemu,” Ia melepas jas hujan kuning Bima. “Udah nggak papa, kamu bawa aja. Aku yang makasih. Aku pulang dulu ya, Ris. Langsung makan, terus minum obat, langsung istirahat. Besok sore tunggu di tempat biasa ya,” Bima berbicara dengan bibir yang bergetar karena menahan dingin. “Iya, iya. Kamu itu selalu gampang khawatir. Hati-hati, Bima. Besok sesudah kamu pulang sekolah, aku tunggu lagi di tempat biasa,” Riska membalikkan tubuh dan setengah berlari menuju teras rumahnya.

              Esok sore, dengan bersemangat ia menuju tempat dimana ia biasa bertemu sahabatnya. Ia sudah menyiapkan martabak coklat-keju kesukaan Bima. Dengan sabar ia terus menanti Bima. Setengah jam berlalu. Ia mulai cemas namun ia tetap berpikir bahwa Bima tak akan lupa dengan janjinya. Ia meyakinkan diri sendiri dan tersenyum. 2 jam berlalu, cakrawala menghembuskan anginnya dengan amat kencang. Dedaunan pun ribut. Dinginnya angin menambah kekacauan di dalam diri Riska. Keyakinannya bertambah kuat bahwa Bima tidak datang. Apakah Bima tak akan datang? Namun Riska tetap memutuskan untuk terus dan terus menunggu sampai pandangannya menangkap sosok Bima dengan sepeda jengkinya. Hujan turun dengan derasnya, sang bayu pun tak hentinya bersorak riuh, menyamarkan suara tangisan Riska. Berkali-kali ia mendekap martabak coklat-keju nya agar tetap hangat. Bima hilang dari pandangan. Baru kali ini Bima tidak datang.

              “Bima, kemana saja kamu, Bim? Kamu lama sekali. Ini aku bawakan makanan kesukaanmu. Pasti kamu suka. Dimakan ya! Bima, kenapa kamu diam aja? Bim,” ia melakukan percakapan sendiri dalam hujan sebelum akhirnya semua menjadi gelap.

              Setiap sore, di kota Malang, puluhan orang yang berlalu-lalang di situ akan melihat gadis cantik yang memakai jas hujan kuning menjelang hujan. Gadis itu selalu berbicara sendiri, tertawa sendiri, menunggu orang kecintaannya yang hilang entah kemana. Kewarasannya sedikit terganggu setiap sosok Bima menerjang sel impuls otaknya. Tak jarang ia tertawa lepas dengan ponsel yang menempel di telinganya, bercakap-cakap dengan lelaki ilusi yang telah lama dirindukannya. Dan setelah itu, ia akan menangis pilu. Berbagai hal telah dilakukan mamanya demi kesembuhan anaknya, namun hasilnya nihil. Kerinduan tak terungkap yang terus menyiksa batinnya. Ia menjadi pemurung dan cenderung menutup diri selama beberapa tahun hanya karena cinta yang mematikan rasionalitasnya.

6 tahun setelah kelulusan SMA…
              Riska sekarang sudah bisa sedikit menghapus sosok Bima di otaknya. Ia sudah bisa hidup normal seperti biasa. Namun, satu hal yang membuatnya sebal, ia harus selalu menunggu bus di tempat yang sungguh tak ingin ia kunjungi, setiap hari. Ia menghela nafas, tak sadar bahwa untuk beberapa menit ia kembali ke masa lalu, sehingga melumpuhkan pendengarannya bahwa ada seseorang memanggilnya. “Mbak… Mbak…” lelaki berumur 25-an itu menepuk pundak Riska. “Iya, maaf, ada apa ya?”.

             Lelaki bercambang itu tertawa, “Boleh saya meminjam jas hujan kuning yang sedang Mbak bawa itu?” Riska melemparkan pandangan ke arah jas hujan’nya’, “Tapi ini bukan milik saya. Mas. Dan saya rasa jas hujan ini terlalu kecil untuk Mas. Maaf,” Riska tersenyum. “Baiklah kalau begitu,” Lelaki itu tetap tersenyum. Riska berpikir bahwa lelaki itu merupakan orang yang ramah.

“Mbak kerja dimana?” Lelaki itu mulai menghangatkan suasana,

“Kimiafarma. Kalau mas?” Riska tak ragu untuk ikut mencairkan suasana,

“Waringin. Mbak, hujannya sudah berhenti, hanya gerimis saja. Mbak, sedang menunggu bus ya? Mari saya antar saja,” Lelaki itu mengambil sepeda motornya dan memakai helm.

“Emm, nggak papa, Mas? Apa saya nggak merepotkan?” Lelaki itu tertawa—lagi. “Ah, enggak, Mbak. Saya juga masih single jadi nggak usah khawatir,” Riska hanya manggut-manggut saja.

             Sepeda motor lelaki itu menepi ke depot gulai. Mungkin lapar, pikir Riska. Lelaki tinggi-besar itu mengambilkan kursi untuk Riska. Riska segera duduk. Ia tampak canggung. Baru kali ini dia makan malam dengan orang yang baru saja ia kenal. Tak lama kemudian, pesanan datang. Lelaki itu segera melahap gulai dengan sangat bersemangat. Memang, dinginnya hujan membuat kita selalu lapar. Riska mulai menyendok hidangan di hadapannya.

“Mbak, sudah lama tinggal di Malang?” Tanya lelaki itu masih sambil menikmati sepiring gulai.

“Sudah sejak kecil, Mas. Kalau Mas?” Riska menghentikan makannya.

“Iya, sejak kecil saya tinggal disini, tapi saya sempat pindah ke Palangkaraya karena bisnis keluarga yang berantakan. Sampai akhirnya saya bekerja disini. Saya merasa sangat bersalah dengan seseorang,” ia menghentikan makannya.

“Siapa, Mas?” Riska semakin penasaran. Ada sesuatu di dalam diri lelaki ini.

“Sahabat saya. Namanya Riska,” Rasanya Riska tak dapat menelan makanan yang ada di dalam mulutnya.

“Bima…” Mulut Riska reflek memanggil sahabatnya.

“Mbak kok tahu nama saya? Sebentar, kamu Riska?” Bima tak kalah kagetnya.

“Iya, Bim. Aku Riska. Bim, sahabatmu secak kecil! Bim, kenapa kamu ngilang? Kenapa kamu nggak pamit aku? Kenapa kamu ninggalin aku sendirian. Kamu jahat, ya!” Masih ada jutaan kata yang melayang-layang di otaknya namun hanya itu yang bisa ia ucapkan. Rasa rindu, bahagia, melebur jadi satu, kembali membuat darahnya meluncur cepat. Rasa hangat menyelimuti dirinya yang sudah 6 tahun merindukan sosok Bima. Dan kini tiba-tiba ia datang dengan ketidaksadaran.

“Maaf, Riska. Aku memang salah nggak ngasih tau kamu. Tapi, memang ini terjadi tiba-tiba, pagi itu juga, sebelum aku sempat ketemu kamu,”

“Aku kangen kamu banget tau nggak, Bim.” Riska mulai menangis.

“Udah ah, jangan nangis. Malu dilihat orang. Sekarang habisin gulainya,” Bima mengusap air mata Riska.

“Nggak mau, udah nggak nafsu makan lagi,” Riska membalikkan sendok dan garpu ditangannya. “Selalu aja gitu. Yaudah ayo pulang,” Bima menggandeng tangan Riska. Riska pulang dengan diselimuti perasaan hangat karena kembalinya orang kecintaannya.

“Udah sampai. Ayo, turun, gendut,” Bima tertawa. Riska cemberut, “Semir kamu belum bisa hilang juga?” Riska membalas ejekan Bima. “Yeee, belum paham-paham ya, dibilang dari dulu ini bukan semir tau!” Bima mencubit pipi Riska. “Udah ah, Bim. Sakit! Ini nih jas hujan kamu. Udah kekecilan juga di kamu,” Riska membuka tas, mengeluarkan jas hujan kuning Bima. “Udah, ambil aja. Aku udah punya yang baru kok,” Bima memasukkan jas hujan itu kembali. “Kamu nyuruh aku bawa jas hujan ini, bikin aku ingat sehari sebelum kamu ngilang. Jangan ngilang lagi, ya, Bima. Kamu harus janji sama aku. Kalau kamu ngilang, aku susah. Masa sahabat tega bikin susah?” Riska memelas. “Enggak, Riska-ku. Aku janji. Aku pasti datang setiap kamu tunggu di tempat biasanya,” Bima menggenggam tangan Riska dan Riska pun membalasnya.

              Suatu sore, Riska menunggu Bima lagi untuk yang kesekian kalinya. Untuk kali ini, ia yakin Bima akan datang, meskipun terlambat beberapa jam karena Bima berjanji tak akan menghilang lagi. Ia tersenyum sendiri, sungguh ia sangat menyayangi Bima. Mungkin mencintai. Honda Jazz hitam mendekati halte Sukojoyo. Wah, Bima punya mobil baru, Riska berkata dalam hati. Tapi, pria dan wanita berumur 50-an menghampirinya.

“Ayo pulang, Nak,” Wanita itu duduk disamping Riska, tak lain adalah mamanya.

“Enggak, Ma. Riska nunggu Bima,” Riska tetap bersikeras menunggu sahabat yang sekarang menjadi pujaan hatinya.

“Riska, jangan menunggu hal yang bodoh. Kau sakit,” Papanya ganti mengajak putrinya untuk pulang.

“Pa, Ma, Bima udah janji sama aku kok kalau ia pasti datang. Meskipun ia terlambat tapi ia tetap akan datang. Riska percaya sama Bima, dan Riska tetap akan menunggu Bima,” Riska tersenyum yakin.

“Nak, ayo pulang,” Mamanya mulai menangis. Melihat mamanya menangis, akhirnya Riska masuk ke dalam mobil. “Tapi, Ma…”

“Sudahlah, Nak. Kita sayang sama kamu,”  

Untuk kedua kalinya kamu nggak datang, Bim.

             Sepanjang perjalanan, ingatan di otaknya bermain seperti film tanpa suara. Ia teringat wajah bulat bima dengan rambut coklat permanennya, ia teringat saat Bima sibuk mengejar ayam, teringat saat Bima mengayuh sepeda jengkinya dengan memakai jas hujan kuningnya, saat Bima memeluk erat dirinya yang tengah kacau, suara tertawa khasnya, ia teringat akan hujan, halte Sukojoyo dan sosok yang selalu menghangatkannya saat dinginnya hujan sibuk bermain dengan syaraf-syarafnya.

            Sebuah ingatan terakhirnya, suara sirene ambulans yang membisingkan, cairan merah kental yang mengucur deras dari kepala Bima, rambut coklat Bima yang harus dipotong, bibir pucat Bima dimana ia berkata dengan nafas yang sudah mulai habis “Aku mencintaimu, Riska. Aku mencintaimu dengan segala kemampuanku,”

Aku mencintaimu, Riska.

Aku juga mencintaimu, Bima. Namun aku percaya telingamu masih selalu bersedia mendengarkan aku.   

Jumat, 15 November 2013

Bruno Mars - Talking to the Moon

I know you're somewhere out there
Somewhere far away
I want you back
I want you back
My neighbors think I'm crazy
But they don't understand
You're all I had
You're all I had

[Chorus:]
At night when the stars light up my room
I sit by myself talking to the moon.
Trying to get to you
In hopes you're on the other side talking to me too.
Or am I a fool who sits alone talking to the moon?

Ohoooo...

I'm feeling like I'm famous
The talk of the town
They say I've gone mad
Yeah, I've gone mad
But they don't know what I know
Cause when the sun goes down
Someone's talking back
Yeah, they're talking back
Ohhh

[Chorus:]
At night when the stars light up my room
I sit by myself talking to the moon.
Trying to get to you
In hopes you're on the other side talking to me too.
Or am I a fool who sits alone talking to the moon?

Ahh... Ahh... Ahh...
Do you ever hear me calling?
(Ahh... Ahh... Ahh...)
Oh ohh oh oh ohhh
'Cause every night I'm talking to the moon

Still trying to get to you
In hopes you're on the other side talking to me too
Or am I a fool who sits alone talking to the moon?

Ohoooo...

I know you're somewhere out there
Somewhere far away

Minggu, 06 Oktober 2013

Kedai Kopi Nostalgia

Udara dingin kota Bogor masih terasa saat aku hendak berangkat kuliah. Tepatnya pukul 6 pagi, hujan rintik-rintik menambah sensasi dingin yang menusuk. Aku tidak langsung mengendarai Supra ku menuju kampus, namun aku masih menepikannya di depan kedai kopi favoritku. 

Aku disambut hangat oleh aroma ekspresso yang sedang diracik oleh si peracik, sofa hangat yang siap merengkuhku, terjajar dan tertata rapi, di depannya terdapat meja kecil dan setumpuk koran dengan berita yang masih hangat pula. Aku segera duduk dan seorang wanita muda berumur sekitar 25-an menghampiriku dengan senyum ramahnya sambil membawa buku catatan kecil. 
"Ekspresso ya, mas. Mau pesan pancake juga atau tidak?"  Rupanya ia sudah hafal dengan pesananku.
"Ngga usah, mbak. Sedang labil ekonomi ini," aku membuka candaan kecil, tak urung juga ia ikut tertawa sopan. Ia menganggukkan kepala dan kembali menuju meja tempat pesanan akan dipesan.

Sambil menunggu, aku memainkan ponselku, kulihat ada beberapa pesan masuk di bbm ku dan semuanya hanyalah promote. Sepi sekali hidupku, pikirku. Tak lama kemudian, pesananku datang. Aroma ekspresso yang dibawa si pelayan pun sudah tercium dari jarak beberapa meter. 
"Terima kasih, mbak," senyumku disambut anggukan kepala darinya.
Aku menyesap sedikit ekspresso hangat. Perasaan hangat menjalar ke seluruh tubuhku. Aku meletakkan secangkir ekspresso itu dan membaca koran terbaru. Aku melirik jam tangan, masih setengah jam lagi, pikirku. Ku layangkan mataku menyusuri setiap deretan kalimat di koran. Korupsi, pencurian, miras, miris aku melihatnya. Kapan negara ini bebas dari KKN dan kriminalitas? Aku beralih ke berita olahraga. Tim sepak bola kesayanganku menang 2-0. Yes, akhirnya! Bosan dengan berita di koran, aku mengambalikannya di tempat semula. Aku mencoba untuk membaca sekilas tentang materi kuliah nanti. Larut dalam keseriusanku, aku mencium aroma parfum, parfum wanita. Pasti si pelayan lagi, pikirku. Tapi aku salah. Seorang wanita duduk di dekat jendela yang berjarak sekitar 5 meter denganku. Manis, tidak seberapa cantik. Namun senyum nya, ya... Dia punya sisi magis dalam dirinya. Dan sejak saat itu, rasa ekspresso yang aku pesan jauh lebih baik.

Keesokan harinya, aku mengambil tempat yang dekat dengan tempat dimana wanita itu duduk. Sambil mengaduk kopi ku, aku terus merapal doa permohonan semoga ia datang lagi pagi ini. Tak lama, terdengar bunyi lonceng sebagai tanda bahwa ada seseorang datang. Aku melesatkan pandanganku ke arah bunyi suara. Seorang wanita dengan dress berwarna soft, dengan rambut ikal sebahu, melangkah ke arahku. Mataku beku, lidahku kelu. Aku mencengkeram tepi meja. Ia duduk di tempat yang sama seperti kemarin. Bodoh, aku benar-benar bodoh. Mataku tak bisa kualihkan untuk tak memandangi ia terus. Aku pikir ia akan risih melihatnya, tapi ia malah tersenyum padaku. Ia pindah tempat duduk menjadi duduk di depanku. 
"Hai.. Sica," ia menjulurkan tangannya.
"Robi.." aku sedikit terkejut karena ia menyadarkanku dari lamunanku. 
"Sendirian disini? Kebetulan banget. Kamu kuliah atau kerja?" Ternyata Sica adalah seseorang yang asyik diajak bicara.
"Kuliah.. Ambil jurusan farmasi, mau lulus nih. Kamu sendiri?"
"Sama dong. Tapi aku ambil jurusan ekonomi. Udah sarapan belum?"
"Belum. Ini, sarapan kopi doang, hehehe"
"Kok gitu sih? Kenapa nggak pesen aja? Perut kosong nggak boleh diisi kopi, memicu asam lambung,"
"Sok tau banget sih. Hahaha. Tanggal tua, Sica. Tau sendiri kan anak kosan kaya gimana?"
"Uangku juga cukup buat aku doang. Makan sepiring berdua yuk!"
 Deg! 
"Enggak usah repot-repot deh. Aku udah terbiasa kali kayak gini,"
"Kuat buat kuliah?"
"Yeee ngeledek amat sih. Udah jam segini nih, aku duluan ya. Terima kasih udah diajak ngobrol," aku segera menghabiskan kopi ku dan menuju pintu keluar. Masih kulihat ia melambaikan tangan.
Sica.. Sica.. Sica.. Nama itu mengiang ditelingaku, melayang-layang di otakku. Sepanjang hari ini mungkin aku akan tersenyum tanpa henti. 

Setiap pagi, sebelum berangkat kuliah, selalu aku mulai dengan percakapan kecil dengannya. Kita sudah sangat akrab, meskipun malam-malam kita tak pernah dihiasi oleh pesan masuk atau panggilan dari satu sama lain. Hal itu selalu kita lakukan sampai aku berumur 23. Suatu ketika saat aku datang lebih awal, seperti biasa, di tempat duduk seperti biasa, aku menunggunya.. Aku tunggu.. 15 menit.. Setengah jam.. Ia tak muncul juga. Lalu ia datang, ia tampak sangat cantik.
"Maaf Robi, kelamaan ya nunggu aku?" ia membenahi bajunya yang sedikit kusut dan segera mengambil tempat duduk di hadapanku.
"Nggak papa kok," aku menjulurkan leher ke arah tempat parkir. Tidak ada mobil milik Sica. "Mana mobil ka....."
"Datang ya, Robi," belum sempat aku melanjutkan pertanyaanku. Selembar kertas dengan hardcover berwarna merah muda tergeletak di depanku.
"Pernikahan kakak kamu?" Aku tau kakak Sica belum menikah.
"Bukan, Robi. Pernikahanku!" 
Deg! Aku mohon kedai kopi ini runtuh sekarang juga. 
"Oh.. Selamat ya!" dengan senyum tipis aku memungut undangan tersebut dan memasukkan ke dalam tasku. Ingin rasanya aku merobek-robek. 
"Maaf ya aku nggak bisa lama-lama nemenin kamu disini. Alvin udah jemput aku tuh,"
"Siapa Alvin?" Tanyaku.
"Tunanganku. Dia pewaris perusahaan papanya," 
"Oh begitu.. Hati-hati," ia membalas dengan sebersit senyum lalu berjalan cepat menuju mobil Alvin.
Yang ada disini sekarang hanya aku, sendiri. Aku beranjak dari tempat dudukku. Aku mengambil tempat duduk di sofa pojok, tempatku pertama kali melihatnya dan mengulang pertemuan ku dengannya. Memainkan drama kilas balik sendirian. Aku berharap ada aroma parfum yang tercium oleh indra penciumanku dan melihatnya lagi. Memulai semua dari awal. Aku bodoh, aku terlalu takut untuk memulai.
Tak bisakah kau menunggu aku lebih lama, Sica?
   

Sabtu, 05 Oktober 2013

Macaroni Schotel









Bahan:
20 gram mentega tawar
1/2 buah bawang bombay, cincang halus
30 gram tepung terigu
300 ml susu cair
100 gram makaroni pipa, rebus matang
5 lembar smoked beef, iris halus
50 gram keju cheddar parut
1 1/4 sendok teh garam
1/2 sendok teh merica bubuk
3/4 sendok teh pala bubuk
3 butir telur, kocok lepas

Bahan Taburan:
100 gram keju cheddar, parut panjang


Cara membuat:
  1. Panaskan mentega. Tumis bawang bombay sampai harum. Masukkan tepung terigu. Aduk sampai bergumpal.
  2. Masukkan susu cair sedikit-sedikit sambil diaduk sampai licin. Masukkan makaroni dan smoked beef. Aduk rata. Angkat.
  3. Masukkan keju cheddar parut, garam, merica bubuk, dan telur kocok. Aduk rata.
  4. Tuang di pinggan tahan panas built diameter bawah 18, atas 21, dan tinggi 5 1/2 cm yang sudah dioles tipis mentega.
  5. Oven 20 menit dengan api bawah suhu 170 derajat Celcius sampai 3/4 matang sambil direndam dalam sedikit air.
  6. Tabur keju. Oven lagi  20 menit sampai matang.


Untuk 16 porsi

KLAPPERTART

 

Bahan-bahan/bumbu-bumbu:
600 ml susu cair
175 gram gula pasir
1 sendok teh garam
30 gram maizena, larutkan dengan 35 ml air
65 gram tepung terigu protein sedang
50 gram mentega tawar
4 kuning telur, kocok lepas
250 gram kelapa muda, keruk lebar
30 gram kenari, iris panjang
25 gram kismis

Bahan Taburan:
15 gram kismis, potong dua bagian
25 gram kenari, iris panjang
1/4 sendok teh kayumanis bubuk


Cara membuat:
  1. Rebus 350 ml susu cair (dari 600 ml susu cair), gula pasir, dan garam sambil diaduk sampai mendidih.
  2. Larutkan maizena dan tepung terigu dengan sisa 250 ml susu cair. Tuang ke rebusan susu. Masak sampai meletup-letup. Angkat.
  3. Masukkan kuning telur. Aduk sampai licin. Tambahkan mentega tawar. Aduk rata. Tambahkan kelapa muda, kenari, dan kismis. Aduk rata.
  4. Tuang di pinggan tahan panas yang dioles margarin. Tabur kismis dan kenari.
  5. Letakkan diloyang 20x20x4cm yang diberi sedikit air. Oven dengan api bawah suhu 160 derajat Celsius 40 menit sampai matang.
  6. Sajikan dengan taburan kayumanis bubuk.


Untuk 16 potong

Jumat, 12 Juli 2013

Happy 25th month anniversary, my athlete

Date: July 13th, 2013

Hey... happy................ happy weekend, si atlet. Pagi ini dingin. Tapi aku sudah menggigil sejak angin belum menyentuh kulitku, mempermainkan syaraf ku untuk bekerja. Aku masih belum melupakan sakit itu. Bukan karena kau tak menggubris setiap pesan masukku. Bukan, aku akan terlihat bodoh dan tolol saat menunggu balasan darimu yang sungguh tak mungkin. Tapi karena kau berlabuh pada orang yang salah, bukan dermaga yang tepat untuk kapal yang kelelahan sepertimu. Sama sekali bukan itu yang kuinginkan. Bukan air mata dari mu yang merobek-robek batinku, tapi tawa dan senyum bahagia, yang sangat ku rindukan meski tak lagi ditujukan untuk aku. Sesudah subuh tadi aku chat dengan gadis itu, gadis bodoh itu, yang kau puja, yang menyakiti kamu. Aku bertanya mengapa dia menyakitimu, apakah dia tak tahu bahwa kau mencintainya? Perkataanku benar, kan? Dan kau tahu jawabannya apa? Jawaban yang membuatku menjadi dirimu, yang membuatku ikut merasakan jika seakan-akan diriku itu dirimu. Dia hanya menganggapmu teman biasa, tak lebih. Dia pun sudah menunggu seseorang sejak belum mengenalmu. Bodoh, kan? Ha! Aku mencoba tertawa, seharusnya aku senang, tapi malah tangis tanpa suara yang membekap mulutku, hanya hatiku yang menceracau tak karuan. Makian, ratapan, amat pilu. Hanya karena aku tak bisa membayangkan bagaimana nantinya kamu. Itu kebodohan kedua ku. Aku tak pernah bisa melihatmu diperlakukan seperti itu, kau sudah hafal sifatku ini kan? Sama saja dia memberimu harapan palsu, mebawamu terbang ke awang-awang lalu menghempaskan tubuhmu dengan teramat keras, jatuh tersungkur di atas tanah. Atau mungkin kau yang terlalu berharap padanya. Sebelum ini aku memang menginginkan karma datang padamu, tapi dalam hatiku, aku benar-benar tak menginginkannya. Sama sekali tidak. Apakah kau berniat untuk masih tetap memperjuangkannya dengan darah yang masih mengucur di luka hatimu? Ingat, kau lupa bahwa kau sudah berdarah. Aku tak ingin kau kembali padaku. Aku hanya ingin, carilah seseorang yang menurutmu tepat. Yang bisa mengerti, memahami, mencintaimu lebih dalam dibanding aku. Deritaku semakin liar, lukaku semakin parah, semakin sakit, semakin menguak. Aku tak bisa berbohong lagi, selama ini aku munafik, aku belum bisa berhenti mencintaimu. Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa, aku saja tak pernah kau gubris meskipun kau sudah membalas colekanku dua kali. Tapi aku takut berpikiran lain, aku takut berharap lebih, aku takut sakit. Apa aku harus bersujud memohon pada gadis itu agar dia bisa menerimamu, memperlakukanmu lebih baik dari aku, menorehkan senyum di wajahmu, bukan menghantam luka yang sudah ada sebelumnya? Aku hanya bisa memohon padanya. Hanya itu yang bisa ku lakukan. Dan aku akan terus menguntit profil facebookmu hanya untuk tahu keadaanmu. Aku ingin mengusap air matamu dalam nyata, bukan dalam angan. Memelukmu dalam nyata, bukan dalam doa. Menguatkanmu dalam nyata, bukan dalam tulisan ku yang tak pernah kau baca. Sakit, kan? Aku yang bodoh karena terus mengkhawatirkanmu atau kau yang bodoh karena salah memilih? Entahlah. Cinta memang mematikan rasionalitas kita. Sekarang tanggal 13. Aku hanya bisa mengucapkan ini, lirih, tanpa suara. Happy 25th month anniversary, my athlete. I miss you. So much.

Does she break your heart?

Date: July 12th, 2013

Aku memang tak pernah mau tahu dan tak pernah mau ingin tahu. Aku sudah tidak peduli apa yang ia lakukan, bersama gadis barunya. Tidak. Aku sudah tak mau peduli. Aku tak mau menambah rasa sakit lagi. Tapi, aku tak sengaja membuka profil facebookmu hanya karena aku heran. Baru kali ini kau membalas colekan ku padahal biasanya kau gubris saja tidak. Aku turunkan scroll down perlahan-lahan, takut shock, jantungku berdesir hebat. Dan akhirnya, statusmu... Ya. Statusmu. Kamu kenapa? Dia sakitin kamu? Ah, mengapa dia bisa-bisanya sakitin kamu? Sehebat apa dia bisa mengerti dan membahagiakan kamu sehingga dia sakitin kamu? Masih saja satu bulan, apalagi 1 tahun. Aku memang sudah tak peduli, aku tak mau stalking profil facebookmu, aku takut sakit. Tapi begitu tahu kau di sakiti, aku tak bisa lepas stalking profil facebookmu. Hanya untuk mengecek apakah kau baik-baik saja? Apakah kau akan menunggunya? Seperti yang sudah aku katakan, aku tak berharap banyak. Hanya berharap kau kuat. Jadilah kuat seperti yang selalu aku banggakan. Jangan siksa aku dengan air mata mu. Air matamu itu derita. Derita yang sakitnya teramat luar biasa membuncah, merusak sistem syaraf dan kesadaranku. Dan kau tahu, aku membenci gadis itu! Kenapa? Dia yang menggoreskan luka di hatimu. Padahal aku sudah merelakanmu, aku mengikhlaskanmu, aku mempercayakanmu padanya. Dia yang ku anggap bisa mencintaimu, mengertimu, lebih dari aku, ternyata tak mampu. Benar. Tapi sayangnya aku tak bisa menjadi pahlawan, kau saja tak membutuhkanku, mau datang disaat kau sudah menutup mata? Saat kau tak butuh seorang pahlawan pun, hanya dia yang kau butuhkan? Kau ingin menunggunya? Ya sudah, terserah kamu. Memang sudah seharusnya aku tak mengurusimu lagi, kau saja tak ingin ku urusi, masih mau memaksa?